Perempuan, Simbol Kelembutan di Balik Kelamnya Konflik
Kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia dalam misi perdamaian turut ditemani oleh Ibu Negara Iriana Joko Widodo.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin menilai ikutnya Iriana memiliki makna tersendiri. Menurut dia, Jokowi yang didampingi Iriana menjadikan kunjungan tersebut ibarat lawatan persahabatan antar-keluarga yang menghadapi masalah dan berbagi solusi.
“Kebersamaan Ibu Iriana dan Presiden Jokowi menampilkan keseharian nyata, apa adanya, rileks, dan hangat. Gesture ini membawa pesan damai yang kuat agar konflik segera berakhir dan rakyat dapat kembali pada kehidupan normal,” tutur Ruhaini dalam keterangannya, Kamis (30/6).
Ia mengungkap, pembicaraan antar-kepala negara dalam merumuskan solusi konflik dilakukan Jokowi dengan cara soft diplomacy, yakni mengedepankan perasaan dan kedekatan emosional.
Guru Besar bidang HAM dan Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu juga memandang bahwa kehadiran Iriana mendampingi Jokowi ke Ukraina membawa sinyal pentingnya pelibatan perempuan dalam proses perdamaian.
Dalam banyak kasus, imbuhnya, pelibatan perempuan dalam proses resolusi konflik berhasil mempercepat tercapainya perdamaian.
"Sebab perempuan seringkali menjadi korban berlapis dan menanggung beban ganda pada setiap konflik, namun peran dan kepentingannya terlupakan," tuturnya.
“Karena perempuan lebih memikirkan dan mementingkan aspek proteksi kemanusiaan ketimbang sekedar ambisi dan kepentingan politis,” tegasnya.
Perempuan Sebagai Simbol Perdamaian
Meski perempuan sering kali menjadi korban kekerasan dan menerima beban ganda dalam kondisi konflik, namun tak jarang mereka juga menjadi agen penjaga perdamaian. Komitmen Indonesia terhadap pelibatan perempuan dalam proses penyelesaian konflik pun tidak tanggung-tanggung.
Indonesia telah memiliki RAN P3AKS (Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial) dan tercatat sebagai penyumbang women peacekeepers atau agen penjaga perdamaian perempuan terbesar ke-7 di dunia dan pertama di Asia Tenggara.
“Sebagai individu yang rentan, dalam kondisi konflik perempuan dapat dikatakan sebagai triple korban. Perempuan kerap kali mengalami kekerasan dan menerima dampak yang berlipat ganda. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat tepat Indonesia telah memiliki instrumen RAN P3AKS. RAN P3AKS merupakan wujud kemauan politik pemerintah dan rakyat Indonesia dalam rangka mencegah berkembangnya eskalasi kekerasan berbasis gender pada berbagai wilayah konflik di masa mendatang,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Vennetia R Danes pada Webinar Perayaan 20 Tahun United Nations Security Council Resolution (UNSCR) 1325, Perempuan Perdamaian dan Keamanan yang diselenggarakan oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia secara virtual (4/11).
Vennetia menambahkan bahwa RAN P3AKS sudah menjadi acuan bersama, terutama di daerah rawan konflik dan pasca konflik, seperti di Provinsi Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Lampung, dan Sulawesi Tengah. Bahkan sebagai komitmen daerah dalam upaya implementasi di wilayahnya, kepala daerah tersebut telah menurunkan dalam bentuk Peraturan Gubernur tentang Kelompok Kerja (Pokja) P3AKS untuk pelaksanaan Rencana Aksi Daerah (RAD) P3AKS.
Country Representative Aman Indonesia, Dwi Rubiyanti Kholifah mengatakan bahwa RAN P3AKS merupakan satu-satunya instrumen dalam merespon kondisi perempuan dan anak di wilayah konflik, serta kunci untuk memastikan inklusi perempuan. RAN P3AKS juga telah mendorong terintegrasinya penanganan konflik sosial satu pintu.
Tenaga Ahli Utama Staf Kantor Kepresidenan RI, Ruhaini Dzuhayatin mengatakan selain adanya RAN P3AKS, partisipasi penuh dan pelibatan yang sangat berarti dari perempuan penting bagi proses penyelesaian konflik.
“Partisipasi penuh dan pelibatan yang sangat berarti dari kaum perempuan penting bagi proses penyelesaian konflik. RAN P3AKS menjadi modal bagi kita untuk menguatkan hal tersebut. Salah satu aspek yang kita miliki dan menjadi rujukan secara internasional adalah modalitas kita dalam menyelesaikan konflik sosial secara cepat dibandingkan dengan konflik lainnya di berbagai negara. Hal ini tidak terlepas dari partisipasi dan relasi gender yang egaliter dalam penyelesaian konflik,” ungkap Ruhaini.
Keterlibatan perempuan dalam kemajuan agenda perdamaian dan keamanan memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Ketua Satuan Tugas Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Satgas DK PBB) sekaligus Kepala Subdit Keamanan dan Perdamaian Internasional Kementerian Luar Negeri, Rina Setyawati mengatakan bahwa saat ini Indonesia tercatat sebagai penyumbang women peacekeepers atau agen penjaga perdamaian perempuan terbesar ke-7 di dunia dan pertama di Asia Tenggara.
Rina bercerita bahwa Indonesia di berbagai forum internasional secara aktif berusaha untuk mengedepankan aspek keterlibatan perempuan dalam perdamaian dan keamanan. Hal tersebut dibuktikan dengan upaya Indonesia untuk mengubah stigma yang awalnya perempuan sebagai korban dalam kondisi konflik, menjadi perempuan sebagai agen perdamaian dan keamanan internasional.
“Di wilayah konflik, women peacekeepers dianggap sangat efektif dalam membantu mendorong perdamaian. Terutama di masa pandemi, para perempuan agen perdamaian tidak hanya berperan dalam melakukan sosialiasi kesehatan, namun juga mampu menjaga situasi tetap kondusif. Agen perdamaian perempuan juga mampu membangun kepercayaan masyarakat, terutama dalam memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak,” tutur Rina.
0 Response to "Perempuan, Simbol Kelembutan di Balik Kelamnya Konflik"
Posting Komentar